← Back to portfolio
Published on

Seni yang Dibentuk dan Membentuk

Untuk memperkaya isi dari pameran “Hasrat Berbuat”, rasanya relevan jika saya memasukkan karya dari Diva Mizanni. Diva yang kini tengah dalam proses menuntaskan studinya di jurusan Arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia memang dikenal fasih dalam menuangkan konsep-konsep visual melalui karya seni. Semasa sekolah, Diva lebih akrab dengan medium dua dimensi. Bentuk karya yang biasa dihasilkannya hingga kini adalah berupa sketsa dan lukisan. Mulai dari spidol, pensil, pulpen hingga cat akrilik, dari kertas tisu, kertas kalkir hingga kanvas, pointilisme hingga eksperimentasi lelehan krayon, Diva cenderung eksploratif dan spontan dalam memilih media dalam mewujudkan karyanya. Kepiawaian Diva terbukti dengan beragamnya hasil ‘keisengan’ yang ia lahirkan. Kehandalannya yang mumpuni diakui tak hanya lewat nilai perkuliahan. Pada awal tahun 2017, Diva dipercaya untuk menciptakan karya visual yang mendampingi produksi EP perdana dari band indie, Glaskaca, berjudul “Stædig”. Ia pun dipilih untuk mengemban tanggung jawab dalam mendesain pameran AFAIR UI 2018, pameran arsitektur dua tahunan terbesar dari Departemen Arsitektur FTUI.

Menghidupi keseharian sebagai mahasiswa arsitektur, Diva tentu mesti bersinggungan dengan media representasi tiga dimensi. Mungkin itu pula yang menyebabkannya merambah media clay atau clay serta logam. Setidaknya dalam kurun setengah tahun ke belakang, Diva mulai mengakrabkan diri pada seni rupa tiga dimensi dengan mempelajari kerajinan clay dan logam. Di antara jadwal perkuliahan yang padat, ia menghabiskan ‘waktu iseng’-nya untuk mengolah clay dan logam yang secara khusus diperuntukannya sebagai perhiasan anting. Karya-karya Diva yang diturutsertakan dalam pameran ini ialah sebagian dari bukti eksperimen dan eksplorasinya.

Diva memiliki ketertarikan tersendiri pada aksesoris fesyen wanita, khususnya anting. Dari ketertarikannya ini, ia pun berusaha menjawab rasa penasarannya untuk membuat anting yang bisa digunakannya sendiri sehari-hari. Kemudian, terpilihlah media yang paling bisa ia jangkau; clay dan perunggu. Clay yang digunakan Diva adalah clay yang pada dasarnya sudah berwarna. Perunggu dilekuk menggunakan tangan atau dengan bantuan tang, sedangkan clay dibentuk untuk ‘membungkus’ atau menempel padanya. Ada pula hasil kreasi Diva yang tanpa menempelkan clay pada perunggu. Setelah clay dibentuk, proses pembuatan dilanjutkan dengan pembakaran dengan menggunakan oven. Setelah dibakar, biasanya Diva juga menjemur clay di bawah terik matahari untuk menghilangkan bau yang masih menempel.

Secara bentuk, Diva mengaku karyanya banyak terinspirasi dari benda-benda yang ia lihat sehari-hari. Hampir segalanya bisa memberi ilham dalam hal bentuk. Daun, bunga, pasta hingga binatang telah memberi pengaruh pada pembentukan clay ciptaannya. Warna pilihannya pun tak jauh dari warna-warna alam. Hijau, merah, serta putih gading ia padankan dengan perunggu. Seluruh pemilihan warna yang cenderung tenang ini juga turut dipengaruhi oleh kepribadian dan selera Diva secara pribadi yang lebih menyukai warna-warna tenang dan netral dibanding dengan warna-warna yang mencolok dan menyala.

Karena pada dasarnya karya ini adalah hasil eksplorasinya, bentuk yang dihasilkan Diva bermacam-macam. Ketika membentuk clay dan meliuk perunggu, ia membiarkan jari-jarinya mengolah media yang ada dalam genggamannya dan menghasilkan komposisi-komposisi yang variatif dan unik. Bentuk-bentuk yang dihasilkan pada clay buatannya merupakan reduksi formatif dan representasi dari benda-benda yang menginspirasinya. Sementara, perunggu diolah sebagai garis yang membentuk sebuah figur dan mengemban kewajiban fungsional sebagai pengait anting pada telinga. Mungkin salah satu yang membuat indah karya-karya ini adalah kesederhanaannya yang dilihat dari kontinuitas perunggu sebagai garis pembentuk figur anting yang juga berperan sebagai pengait telinga, mengeliminasi kebutuhan untuk menambahkan kaitan tambahan padanya. Hasil akhir anting mungkin terlihat ‘kasar’ karena hal ini, tapi justru kesan ‘kasar’ dan ‘mentah’ yang dihasilkannya membuat desain Diva memberikan rasa dan karakter yang kuat dan tersendiri.

Beberapa hasil eksplorasinya yang tidak ditampilkan sudah biasa dipakai sendiri oleh Diva sehari-hari. Anting-anting buatannya dapat dinilai sebagai karya seni terapan karena merupakan aksesoris yang tak hanya memiliki nilai estetis, tapi juga fungsional. Hobi barunya ini membuat Diva berencana untuk mencoba merangkum hasil kurasi dari kreasinya ke dalam sebuah merek dan memperjualbelikannya. Rencananya ini telah setengah rampung. Pelaksanaannya menyesuaikan dengan aktivitas Diva yang masih padat dengan kepentingan perkuliahan.

Menilai dari awal intensi pembuatan hingga rencana untuk menjadikannya barang komersil, proses terjadinya karya ini saya kira adalah sebuah kronologi yang menjadi seni tersendiri. Dalam kasusnya, Diva membentuk karya seni rupa yang kemudian memicu terbentuknya sesuatu yang lain berupa rencana penjualan. Hasrat untuk berkarya bersambung dengan peluang untuk memperlakukan hasil karya sebagai sesuatu yang bernilai ekonomi. Kemampuan hasrat untuk mendorong seniman untuk mewujudkan idenya, dan ide yang telah terwujud dalam bentuk fisik pun bisa mendorong pembuatnya untuk melakukan hal yang lain. Proses kesinambungan ini bagi saya merupakan fenomena efek berantai yang patut kita hargai serta sadari kekuatannya dalam kesenian. Seni sebagai entitas yang universal, bisa dinikmati oleh siapa saja, memiliki kemampuan yang hampir tak terbatas dalam memicu ide dan reaksi yang baru.